Kamis, 15 April 2021

Menguak misteri Ibunda Raja Bone ke-22 La Temmassonge Sultan Abdul Razak Jalaluddin (1749-1775)

Syahdan, Raja Bone ini pada awalnya dianggap anak cera' ri mannessae – sengngengngi ri mallinrunge karena tidak dilahirkan dari rahim sang permaisuri atau petta arung makkunrai yaitu We Ummung Datu Larompong, putri Raja Luwu dan We Mariama Karaeng Pattukangang putri Raja Gowa. Tetapi raja Bone sebelumnya yaitu We Bataritoja Daeng Talaga Matinroe ri Tippulunna berpesan bahwa yang akan menggantikannya kelak adalah La Temmassonge. Bataritoja menganggap bahwa La Temmassonge’ adalah saudaranya yang paling dekat, dan merawat Bataritoja hingga pada saat-saat akhir menjelang wafat. Status cera' inilah yang banyak dipersoalkan oleh para bangsawan Bone terutama keluarga Arung Kaju yang pernah berselisih yang berujung kematian, sehingga akkarungeng La Temmassonge’ di Bone terkatung-katung sejak tahun 1749 dan baru tiga tahun kemudian baru dilantik sebagai Raja Bone. Namun setelah desakan Arung Berru dan Addatuang Sidenreng serta pembesar Kompeni Belanda , maka akhirnya para anggota dewan Adat Bone dapat menerima La Temmassonge sebagai Mangkau’ di Bone, dan dikukuhkan pada tahun 1752. Sebaliknya dalam banyak naskah, La Temmasonge' justru dicatat sebagai anak dari We Ummung Datu Larompong padahal jika ini benar maka tentu tidak akan menjadi permasalahan dalam hak dan kedudukannya sebagai anaq pattola atau putra mahkota kerajaan Bone. Jadi sesungguhnya siapa ibu kandung dari Arumpone ke-22 ini. Dalam buku harian ayahanda beliau, La Patau Matanna Tikka , Raja Bone ke-16 mencatat kelahiran putranya sebagai berikut:  26 Jumadil Awwal, Sabtu : Nalleppekeng inangna La Mappasore orowanE riasengE Jalaluddin, La Temmassonge To Appaweling pattellarenna. Syukur Alhamdulillah. Jadi jelas bahwa La Temmassonge bersaudara dengan La Mappasore yang dilahirkan dari kandungan Sitti Maemuna, Dala Marusu (Maros). dalam catatan lain sebelumnya ditulis: 6 Jumadil Awwal, malam Kamis : Nalleppereng I Muna orowane anaqna, riaseng Muhammad Said La Mappasore, Syukur Alhamdulillah. La Mapassore atau Muhammad Said bersaudara kandung dengan La Temmassonge. Saudara kandung lainnya yang sudah banyak dicatat dengan benar adalah La Magumette Arung Sinring. Kembali ke ibunda beliau, We Maemuna. Dala Marusu ini adalah putri dari Raja Maros yaitu I Lolo Karaeng Kaluku Karaeng Marusu VI (1596-164l) yang bergelar  Karaeng Assakayai Binanga Marusu  yang juga merupakan keturunan langsung patrilineal dari To Manurunga ri Pasandang dan Manurunga ri Asaang. Dari jalur ibu, Sitti Maemuna adalah cucu dari Raja Maros sebelumnya yaitu I Yunynyi Daeng Mangemba, Karaeng Tunikakasang, Karaeng Marusu V (1572-1591) yang juga adalah putra dari I Mappasomba Daeng Nguraga, Karaeng Patanna Langkana Tumatinroa ri Buluqduaya, Karaeng Marusu IV. Dalam buku lainnya dari Perpustakaan Universitas Leiden Belanda, "Het Leenvorstendom Boni" (Milo,1866) terbit seratus tahun lebih pasca wafatnya puatta La Temmassonge, pada halaman 163, dicatat istri-istri dan anak-anak Raja Bone ke-16 La Patau Matanna Tikka, terutama yaitu 1. We Ummung (Luwu) , 2. We Maryam (Gowa) dan 3. Dala Marusu yg disebut sebagai salah satu dari beberapa istri lainnya Arumpone tersebut. Batari Toja dicatat sebagai anak dari We Ummung, dan We Annebana, La Padassajati, La Pareppa', & La Panaongi sebagai anak dari We Maryama. Sedangkan anak-anak lainnya dari ustri-istri lainnya termasuk La Mappasore, La Maddi, La Mappasossong Jalaluddin, La Tongeng & La Watta. Dari sini jelas bahwa La Mappasossong, nama kecil dari La Temmassonge bukan merupakan anak dari We Ummung ataupun We Maryam. La Temmassonge’ memang juga dikenal sebagai Raja Bone yang memiliki banyak anak dan istri. Dalam suatu catatan ada kurang lebih 80 orang anak dengan jumlah isteri. Arung Makkunrai (permaisuri) yang dicatat resmi adalah We Mommo Sitti Aisyah, cucu dari Syekh Yusuf Al-Makassari, Tuanta Salamaka ri Gowa. Karena beliau meninggal di Malimongeng dalam usia 80 tahun, maka digelari nama anumerta Petta MatinroE ri Malimongeng. Untuk uraian keturunan La Temmassonge dan hubungannya dengan kerajan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan bisa dibaca di situs web Teluk Bone. Salah satu yang menarik perhatian penulis terkait Arumpone ini adalah beberapa catatan terkait kiprahnya di luar Sulawesi Selatan, terutama di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.   Dalam suatu catatan tentang sejarah Kerajaan Tojo, Sulawesi Tengah yang bermula dari penjemputan bakal raja  Pilewiti oleh To Manuru (Orang Dari Langit;To Lamoa). “ Ta Lamoa ” dari Mawomba Tojo menuju Kerajaan Bone karena terjadi konflik Diantara Suku-Suku Etnis Bare’E didaerah Tana Bare’E. Dikisahkan dalam perjalanan dari Pombalowo sekitar tahun 1770 tersebut bersama 40 pasang pengawal menuju Tanjung Pati-pati dengan menggunakan perahu Sampan Batang, dan sepanjang perjalanan Pilewiti yang menanyakan kepada Tolamoa semua sungai yang dilewati dari Sausu sampai dengan Tanjung Pati-pati yang pada akhirnya Pilewiti menunjuk sungai Tojo sebagai tempat untuk mendirikan suatu kerajaan. Singkat cerita, Raja Bone La Temmassonge mengumumkan bahwa Pilewiti menjadi Raja di Kerajaan Tojo dan menyerahkan 2 biji pohon lontar untuk ditanam di halaman kerajaan Tojo dan sejak itu Kerajaan Tojo disebut juga Bone Kecil. Pilewiti memerintah di Kerajaan Tojo selama 8 Tahun yaitu sampai tahun 1778, dan Pilewiti memiliki seorang istri yaitu Mawomba dan seorang anak yang bernama Latondrong yang kemudian Latondrong mempunyai anak 4 orang masing-masing bernama Remelino (perempuan), Larifu (laki laki,meninggal bujang), Lamataia (laki-laki,meninggal bujang), dan La Raja (laki-laki). kemudian Remelino mempunyai anak bernama Kolomboi, dan La Raja mempunyai anak bernama Taka. Pada tahun 1778 Pilewiti wafat dan  Jenasah Pilewiti dimakamkan dipuncak gunung Patta Pasang diatas Desa Tojo, pemakaman dihadiri oleh seluruh rakyat Kerajaan Tojo sehingga makam beliau dapat dibuat dari kapur yang dikumpul dari tempat kapur sirih sebanyak rakyat hadir dan sebagai perekatnya adalah putih telur. Masih ada kisah lain yang menarik dari Arumpone ini ketika menikahi putri Raja / Mokole Tolaki Konawe yang melahirkan Arung Bakung / Bungku yang kemudian turun temurun menjadi dinasti Kerajaan Laiwoi yang situsnya berlokasi di Kota Kendari sekarang ini.  Insya Allah akan diposting dalam kesempatan mendatang jika sudah konsultasi dengan Mokole Laiwoi sekarang,

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.