Selasa, 02 Oktober 2012

Adat dan budaya bugis

Suku Bugis atau to Ugi‘ adalah salah satu suku di
antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka
bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun
dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis
telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.
Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air
disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis
umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari
mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang
dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal
lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang
Bugis itu sendiri di masa lalu.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang
mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan
langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung)
atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk
membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras,
The Bugis, 2006).
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal
to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat
tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang
merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul
keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari
kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan
Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah
Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana
Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika
rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka
merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya
sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La
Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai
dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari
Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan
melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang
membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna
Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang
tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi
masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal
dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili,
Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti
Buton (Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).
Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi
juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di
masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar
di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure‘
galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio
dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah
keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian,
dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘)
dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang
dalam Lontara‘. Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam
La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We‘ Opu
Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘ Tenriabeng (Ibu
We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La
Galigo(Anak Sawerigading dan We‘ Cudai).
Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure‘
Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis
pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara‘ itu berisi
silsilah keluarga bangsawan dan keturunan–
keturunannya, serta nasihat–nasihat bijak sebagai
penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi
kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang
mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan
dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat
setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di
negeri orang.
Konsep Ade‘ (Adat) dan Spiritualitas (Agama)
Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam
teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun,
istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama
yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam,
kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal
dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu
kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat istiadat”,
berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain.
Selain konsep ade‘ secara umum yang terdapat di
dalam konsep pang‘ade‘reng, terdapat pula bicara
(norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam
kehidupan bermasyarakat), wari‘ (norma yang
mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara‘ (syariat
Islam) (Mattulada, Kebudayaan Bugis Makassar :
275-7; La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh
masyarakat Bugis seperti Sawerigading, We‘ Cudai, La
Galigo, We‘ Tenriabeng, We‘ Opu Sengngeng, dan lain-
lain merupakan tokoh–tokoh yang hidup di zaman
pra-Islam.
Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan
yang sangat erat dengan dewa–dewa di kahyangan.
Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara
kembar dari Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng
menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga konsep
ade‘ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta
spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada
kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya upacara-
upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada
penguasa laut, sesaji pada pohon yang dianggap
keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan
bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional
Bugis di masa itu memang masih menganut
kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.
Namun, setelah diterimanya Islam dalam masyarakat
Bugis, banyak terjadi perubahan–perubahan terutama
pada tingkat ade‘ (adat) dan spiritualitas. Upacara–
upacara penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon
yang dikeramatkan hampir sebagian besar tidak lagi
melaksanakannya karena bertentangan dengan
pengamalan hukum Islam. Pengaruh Islam ini sangat
kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-
temurun orang–orang bugis hingga saat ini semua
menganut agama Islam.
Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat
Bugis menganut pada paham mazhab Syafi‘i, serta adat
istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
syariat Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang
banyak dipengaruhi oleh budaya Islam tampak pada
acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru lahir
(aqiqah), pembacaan surat yasin dan tahlil kepada
orang yang meninggal, serta menunaikan kewajiban
haji bagi mereka yang berkemampuan untuk
melaksanakannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan masuknya Islam
pada masyarakat Bugis kala itu juga melalui jalur
perdagangan dan pertarungan kekuasaan kerajaan-
kerajaan besar kala itu. Setelah kalangan bangsawan
Bugis banyak yang memeluk agama Islam, maka
seiring dengan waktu akhirnya agama Islam bisa
diterima seluruh masyarakat Bugis. Penerapan syariat
Islam ini juga dilakukan oleh raja-raja Bone, di
antaranya napatau‘ matanna‘ tikka‘ Sultan Alimuddin
Idris Matindroe‘ Ri Naga Uléng, La Ma‘daremmeng,
dan Andi Mappanyukki.
Konsep–konsep ajaran Islam ini banyak ditemukan
persamaannya dalam tulisan-tulisan Lontara‘. Konsep
norma dan aturan yang mengatur hubungan sesama
manusia, kasih sayang, dan saling menghargai, serta
saling mengingatkan juga terdapat dalam Lontara‘. Hal
ini juga memiliki kesamaan dalam prinsip hubungan
sesama manusia pada ajaran agama Islam.
Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan
dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal
yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti
mengucapkan tabe‘ (permisi) sambil berbungkuk
setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-
orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé
(dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan
sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai
orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda.
Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis
sesungguhnya yang termuat dalam Lontara‘ yang harus
direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh
masyarakat Bugis.
Manusia Bugis
Sejarah orang–orang Bugis memang sangat panjang, di
dalam teks–teks sejarah seperti karya sastra La Galigo
dan Lontara‘ diceritakan baik awal mula peradaban
orang–orang Bugis, masa kerajaan–kerajaan, budaya
dan spritualitas, adat istiadat, serta silsilah keluarga
bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dan
adat istiadat ini harus selalu dipertahankan sebagai
bentuk warisan dari nenek moyang orang–orang Bugis
yang tentunya sarat nilai-nilai positif.
Namun saat ini ditemukan juga banyak pergeseran
nilai yang terjadi baik dalam memahami maupun
melaksanakan konsep dan prinsip-prinsip ade‘ (adat)
dan budaya masyarakat Bugis yang sesungguhnya.
Budaya siri‘ yang seharusnya dipegang teguh dan
ditegakkan dalam nilai–nilai positif, kini sudah pudar.
Dalam kehidupan manusia Bugis–Makassar, siri‘
merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka.
Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk
dibela dan dipertahankan di muka bumi selain siri‘.
Bagi Manusia Bugis-Makassar, siri‘ adalah jiwa mereka,
harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu,
untuk menegakkan dan membela siri‘ yang dianggap
tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka
manusia Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa
saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi
tegaknya siri‘ dalam kehidupan mereka.(Hamid
Abdullah, Manusia Bugis-Makassar .37).
Di zaman ini, siri‘ tidak lagi diartikan sebagai sesuatu
yang berharga dan harus dipertahankan. Pada
prakteknya siri‘ dijadikan suatu legitimasi dalam
melakukan tindakan–tindakan yang anarkis,
kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Padahal nilai
siri‘ adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siri‘
harus dipertahankan pada koridor ade‘ (adat) dan
ajaran agama Islam dalam mengamalkannya.
Karena itulah merupakan interpretasi manusia Bugis
yang sesungguhnya. Sehingga jika dilihat secara utuh,
sesungguhnya seorang manusia bugis ialah manusia
yang sarat akan prinsip dan nilai–nilai ade‘ (adat) dan
ajaran agama Islam di dalam menjalankan
kehidupannya, serta sifat pang‘ade‘reng (adat istiadat)
melekat pada pribadi mereka.
Mereka yang mampu memegang teguh prinsip–prinsip
tersebut adalah cerminan dari seorang manusia Bugis
yang turun dari dunia atas (to manurung) untuk
memberikan keteladan dalam membawa norma dan
aturan sosial di bumi.

1 komentar:

Nice info btw mklumt lbh trperinci tntg budaya bugis bone rujuk dimana ya..skg dlm zmn prbhn bdaya bugis brlaku seiring dgn era modenisasi..ini dsbbkn oleh pendidkan, prkmbgn ekonomi politik dsb..byk adat yg kdgkala bla generasi muda bugis yg sdh brpndidikn mlhat adat itu krg nilainya..tdk sebati d zmn mrka bbndg golongan2 tua..

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.