Selasa, 02 Oktober 2012

6Menguak tabir bissu di bugis

Tidak Semua Waria adalah Bissu
Dalam budaya Bugis masa silam, waria, wandu, atau
banci, punya kedudukan terhormat yakni sebagai
“penyambung lidah” rakyat dan raja, dengan para
dewa. Dalam perjalanannya, peran bissu – begitu
kaum waria sakti ini disebut – perlahan menghilang,
bahkan nyaris punah gara-gara perubahan iklim politik
negeri ini. Kini, mereka yang tersisa, mencoba bangkit
kembali.
Kecamatan itu bernama Segeri. Letaknya di Kabupaten
Pangkajene Kepulauan (Pangkep), sekitar 70
kilometer arah Utara Makassar. Di daerah pesisir Barat
Sulawesi Selatan itu, terdapat ratusan tambak
penghasil bandeng, kepiting dan udang. Bisa jadi
karena orang Sulsel umumnya gemar makan ikan,
maka daerah ini bisa dikenal luas. Jalan Trans-
Sulawesi, jalur darat dari Makassar ke Manado, juga
melintasi daerah ini.
Di Segeri, tepatnya di sekitar Pasar Sentral, rasanya
tak ada yang tidak mengenal Eka. Pemilik Salon
“Eka” yang sekaligus dikenal sebagai perias pengantin
andal. Kata orang, riasan tangan gemulainya bisa
membuat pasangan pengantin terlihat lebih cantik dan
bercahaya. Tapi selain itu, waria 29 tahun ini juga
dikenal masyarakat sebagai satu dari sedikit bissu yang
tersisa di Segeri.
Bissu, gampangnya bisa kita sebut sebagai pendeta
agama Bugis kuno pra-Islam. Asal katanya bessi,
berarti bersih. Para waria yang menjadi bissu dianggap
suci, tidak kotor, karena mereka tidak berpayudara dan
tidak menstruasi. Selain waria, ada pula bissu
perempuan, yaitu mereka yang menjadi bissu setelah
mengalami menopause.
Selayaknya pria-pria berjiwa perempuan, Eka dan para
waria lain bermata pencaharian yang terkait urusan
kawin-mawin. Mereka menangani tata rias, membuat
baju pengantin, peralatan pesta, bahkan sampai tata
urutan perayaannya. Penghasilannya jauh dari sekadar
lumayan. Saat musim hajatan, wedding organizer
tingkat kampung macam Eka, bisa menangani lima
sampai sepuluh pasang pengantin per hari. Satu pasang
tarifnya paling minim Rp 2 juta.
“Penghasilan dari sini, lumayan. Tapi itu ‘kan buat
dikasih ke anak buah juga dan beli peralatan. Sama
masih buat bantu-bantu keluarga,” tutur Eka, yang
ketika ditemui Intisari di rumahnya, sedang
menyiapkan baju pengantin dan beberapa
perlengkapan lain. Mulai Maret hingga Juli, order
pesta nikah sedang mencapai puncaknya. “Biasanya
ramai kalau setelah panen tambak dan waktu terang
bulan,” tambahnya sambil terus menjahit.
Saat ini Eka memang tengah menikmati hasil jerih
payah kehidupannya, setelah bertahun-tahun sempat
dilaluinya dalam penderitaan. Dia, seperti juga
kebanyakan waria lain, pernah mengalami penolakan
dari keluarga dan masyarakat karena dianggap
abnormal. Laki-laki kok banci, hardik mereka.
Panggilan spiritual menjadi bissu yang kemudian
mengangkat derajatnya menjadi “bukan sekadar waria
biasa”.
Bertanya hari baik
Dalam bahasa Bugis, waria disebut calabai. Asalnya
dari kata sala bai atau sala baine, yang artinya “bukan
perempuan”. Karena terlahir sebagai pria tapi
bertingkah seperti perempuan, bukan rahasia lagi kalau
kemudian sebagian masyarakat mengejek dan
mencemooh kaum ini. Tak terkecuali di Sulsel.
Padahal dalam tradisi adat dan budaya Sulsel yang
berakar kepada kerajaan Luwu, calabai yang
bertransformasi menjadi bissu, sesungguhnya mendapat
tempat terhormat. Diriwayatkan dalam Surek Galigo
atau naskah-naskah Bugis kuno masa Hindu, Raja
Luwu diturunkan dari langit bersama Latimojong dan
Lae Lae, yang adalah bissu pertama. Dalam epos-epos
La Galigo, bissu juga selalu menjadi penyempurna
keberadaan tokoh-tokoh utamanya.
Sejak masa awal sejarah, masyarakat Bugis mempunyai
sistem kepercayaan dengan konsep dewa tertinggi atau
To PalanroE. Sistem kepercayaan ini disebut juga
attoriolong, atau secara harafiah berarti “mengikuti
tata cara leluhur”. Lewat attiorolong diwariskan
petunjuk-petunjuk normatif dalam kehidupan
masyarakat. Sampai sekarang, kepercayaan ini
sebenarnya tidak benar-benar punah.
Dewa tertinggi dalam attoriolong disebut PattotoE,
yang diyakini mempunyai anggota keluarga dewata lain
dengan bermacam tugas. Setelah menciptakan alam
raya, dewa penentu nasib ini kemudian beristirahat.
Untuk memuja PattotoE atau sejak masa Islam
disebut juga Dewata SeuwaE, tidak bisa langsung,
melainkan lewat dewa pembantu-pembantunya.
“Ini semacam konsep deisme. Kepercayaan di Sulawesi
memang pertemuan antara kepercayaan yang ada di
Barat, seperti Jawa atau Kalimantan, dengan Timur,
seperti di Papua,” kata Dr Halilintar Lathief, peneliti
budaya Bugis yang tinggal di Makassar. “Tapi bissu
tidak terkait dengan Tolotang, agama Bugis kuno lain
yang pengikutnya sekarang masih banyak di Kabupaten
Sidrap,” tambahnya.
Dalam attoriolong, bissu adalah perantara antara langit
dengan bumi. Ini dimungkinkan karena bissu
menguasai Basa Torilangi, atau bahasa langit yang
hanya dimengerti sesama bissu dan para dewa. Lewat
bahasa itu, bissu membacakan mantra dan doa dalam
pelbagai upacara keagamaan baik bersifat kenegaraan
atau kelompok keluarga.
Dalam kehidupan sehari-hari, peran bissu begitu
penting, bahkan mencakup hampir semua sendi
kehidupan masyarakat Bugis masa silam. Mereka
pengabdi dan penjaga tempat penyimpanan benda-
benda pusaka atau arajang. Mereka berpartisipasi
dalam upacara untuk benda-benda pusaka itu.
Kedudukan bissu juga erat dengan istana karena
mereka konon adalah penasehat sekaligus turut
mendidik putra-putri raja.
Sebagai praktisi spiritual, masyarakat sering bertanya
kepada bissu tentang hari-hari baik untuk hajatan dan
memulai pekerjaan besar seperti pernikahan, pindahan
rumah, atau memulai musim tanam. Saat upacara itu
berlangsung, bissu juga berperan menyampaikan
ucapan syukur dari empunya hajat kepada dewa-dewa
tertentu lewat dialog yang dilakukannya.
Acara besar tahunan masa silam yang melibatkan bissu
adalah mappalili. Upacara yang belakangan mulai
dihidupkan kembali ini, aslinya diadakan 40 hari siang-
malam, dengan melibatkan 40 bissu. Seluruh
masyarakat ikut aktif, bahkan membiayai seluruh
kegiatan. Masyarakat saat itu meyakini, tanpa
mappalili, panen mereka bisa terganggu.
Yang termasuk bergengsi, menurut Halilintar, bissu
pula yang melakukan penobatan pemimpin bahkan
raja. “Begitu ampuhnya doa bissu ini, sehingga diyakini
raja atau pejabat yang tidak dilantik bissu, tidak akan
mempunyai kharisma dalam masa kepemimpinannya,”
katanya. Agaknya ini yang menimbulkan anggapan
bahwa kedudukan bissu lebih tinggi dari pemimpin
setempat, karena tidak akan ada pemimpin jika tidak
ada bissu.
Para bissu dalam suatu wilayah berhimpun dalam satu
lembaga bissu yang dipimpin seorang puang matowa.
Sang ketua ini dianggap seseorang yang paling luas
pengetahuannya tentang adat, tradisi, serta mampu
memimpin. Wakilnya adalah puang lolo, artinya tuan
muda, yang juga calon pengganti puang matowa bila
suatu saat mangkat. Dwitunggal matowa-lolo ini
disebut anreguru, atau guru yang mengajar anak-anak
didiknya yang terdiri atas ana’ bissu.
Dalam lembaga bissu banyak terdapat gelar. Seorang
bissu ahli pengobatan atau dukun disebut sanro. Bila
pandai berbahasa bissu disebut bissu dewata. Bissu
keturunan bangsawan disebut bissu patudang. Tradisi
yang berjalan beratus-ratus tahun ini membuat gelar
dan istilah di setiap lembaga bissu mempunyai banyak
perbedaan.
Dipaksa jadi lelaki tulen
Sejarah mencatat, kedatangan Islam ke Sulawesi pada
abad 16 mulai mendesak keberadaan bissu. Keyakinan
dan ritual yang dilakukan bissu, sempat mendapat
tentangan. Namun ajaran Islam yang kemudian
perlahan diterima, malah menimbulkan sinkretisme.
Mantra-mantra bissu dalam bahasa Bugis kuno
tercampur petikan ayat-ayat Al’Quran. Bahkan pada
beberapa bagian mantra masih tersisa peninggalan
Hindu dan Tolotang.
Ancaman sesungguhnya terjadi pascakemerdekaan.
Gerombolan Darul Islam dipimpin Kahar Muzakar
mencoba menumpas segala yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam di Sulsel. Bissu dan juga kepercayaan
tradisional lain mengalami masa cobaan berat. Benda-
benda pusaka bissu di rumah-rumah pusaka
dimusnahkan. Para bissu dipaksa menjadi lelaki tulen
dengan bekerja kasar. Tak ada data pasti, tapi tak
sedikit bissu yang terbunuh saat itu, terutama para
sanro.
Setelah peristiwa G30S/PKI, tekanan malah semakin
berat. Sebuah organisasi kepemudaan yang menggelar
operasi bernama Operasi Toba (operasi tobat)
memburu bissu dengan alasan menjadi bagian dari
gerakan komunis. Mereka dinilai tidak beragama,
melakukan perbuatan sirik dan menganut ajaran
animisme.
Gawatnya, kala itu muncul doktrin bahwa siapa pun
yang melihat bissu atau waria sekalipun, maka doa,
pahala dan rezeki selama 40 hari siang-malam akan
sia-sia. Karena takut, masyarakat manut. “Akibatnya
bila terlihat bissu di kampung, mereka diusir,
ditimpuki. Kebanyakan mereka mengungsi berjalan
kaki ratusan kilometer dari Pangkep ke Bone. Tanpa
makan dan keluar-masuk hutan,” kata Halilintar yang
banyak mendengar kisah-kisah sedih dari bissu-bissu
tua yang selamat.
Tekanan bertahun-tahun itulah yang membuat bissu
kini seolah menjadi makhluk langka. Komunitas yang
tersisa diketahui hanya terdapat di Kabupaten
Pangkep, Bone, Wajo dan Soppeng. Jumlah tepatnya
tidak diketahui, namun dipastikandi tiap kabupaten
hanya bisa dihitung pakai jari. Tidak tertutup
kemungkinan ada juga bissu-bissu yang terpencar dan
tidak terdata.
Padahal pada masa silam, di tingkat kerajaan –
sekarang kurang lebih setingkat kabupaten – minimal
terdapat 40 bissu. Jumlah itu sesuai syarat
penyelenggaraan upacara mappalili. Namun saat ini
tidak ada satupun komunitas bisa mencapai angka
demikian. Di Segeri misalnya, kini hanya terdapat tak
lebih dari empat bissu.
Kendala lain adalah soal beratnya persyaratan menjadi
bissu. Untuk menjadi bissu, seorang waria harus
mendapat panggilan spiritual, yang bisa berupa mimpi,
sakit, atau pertanda lain. Bila si waria sudah bertekad
bulat, ia harus magang belajar di rumah puang matowa
selama beberapa waktu sebelum dinyatakan siap
ditahbiskan dalam upacara irreba. Meski telah
melewati masa belajar hingga bertahun-tahun, belum
tentu semua bissu akan lulus.
Bissu Eka misalnya, yang ditahbiskan pada 2003,
menjalani masa magang selama empat tahun.
Perjalanan spiritualnya sendiri diawali lewat mimpi
semasa SMP. Dalam mimpinya, ada seorang tua
berbaju putih yang menyuruhnya pergi ke rumah
pusaka. “Waktu itu saya takut ke sana. Lihat bissu-
bissu itu saja takut karena pakaian mereka perempuan,
tapi mukanya besar-besar,” kenangnya. Sampai pada
mimpi ketiga barulah ia memberanikan diri. Waria
bernama kecil Kahar ini mengakui sejak kecil memang
merasakan ada kelainan dalam dirinya yang lebih suka
berlaku seperti perempuan.
Di rumah puang matowa, Eka mempelajari ilmu-ilmu
bissu yang hanya beredar di kalangan mereka.
Beruntung dia termasuk cerdas dalam menyerap semua
pelajaran dari senior-seniornya. Di sana, Eka juga
belajar keterampilan rias pengantin dan tata caranya
menurut adat Bugis. Para calon bissu muda saat ini
umumnya sudah membekali diri dengan keterampilan
semacam ini, karena kehidupan mereka tidak lagi
disokong masyarakat seperti masa silam.
Menurut Eka, panggilan spiritual menjadi bissu tidak
bisa direkayasa, apalagi sampai berbohong. Sebagai
pemimpin, puang matowa juga akan mendapat isyarat
tentang adanya waria yang akan datang magang di
rumahnya. Sesama bissu juga mendapat semacam
anugerah untuk dapat mengetahui basa torilangi, meski
tidak ada yang mengajarkan ke mereka.
Seorang bissu idealnya harus dapat menjaga tingkah
laku di masyarakat. Sejatinya, seorang bissu menjalani
kehidupan spiritual dan menjauhi segala keduniawian.
Mereka tidak bisa lagi bersikap genit, seperti
umumnya waria muda lain. Penampilan harus
senantiasa sopan. Mereka juga wajib berperan dalam
upacara-upacara adat jika dibutuhkan.
Kelangkaan bissu tak pelak membuat kualitas mereka
kian hari kian menurun. Sebagai pendamping
komunitas bissu selama puluhan tahun melalui LSM
Padat Daya, Halilintar mengakui hal ini. Ada daerah-
daerah tertentu yang belakangan banyak mentahbiskan
bissu, tapi kualitasnya dipertanyakan. “Banyak waria
yang sudah menjadi bissu tapi tidak paham
sepenuhnya tentang bissu itu sendiri,” ungkapnya.
Halilintar juga menyangkan, belakangan di kalangan
bissu juga muncul gejala adanya “teman hidup” bissu
yang disebut to boto. “Istilah ini sebenarnya adalah
untuk ahli ramal kerajaan pada masa lalu, tapi
sekarang menyempit menjadi lelaki teman kencan atau
pacarnya bissu,” kata pengajar di Universitas Negeri
Makassar ini prihatin.
Tidak berkelompok
Sosok bissu sendiri harus diakui memang mengundang
eksotika tersendiri karena mereka berasal dari kaum
waria. Dengan bentuk fisik pria namun bergaya
feminim atau lemah gemulai saja, sudah mampu
menyita perhatian orang lain. Apalagi ketika mereka
dibalut sebagai bagian dari tradisi, wajar jika beraneka
pikiran muncul di benak banyak orang.
Padahal, seperti diungkap Halilintar, dalam Surek
Galigo termuat bahwa dari 40 bissu pertama yang
turun ke bumi, hanya delapan yang waria. “Entah
mengapa yang waria belakangan ini begitu dominan
dibanding bissu perempuan,” katanya. Bahkan dalam
pemilihan Matowa yang baru-baru ini diadakan di
sejumlah komunitas, waria terlihat lebih menguasai
gelanggang.
Keberadaan bissu perempuan seolah menghilang. Bisa
jadi ini disebabkan karena pengalaman spiritual yang
mereka dapat untuk menjadi bissu, didapat melalui
proses sangat individual. Apalagi peran bissu dalam
masyarakat mengalami kemerosotan semasa Orde Baru
berlangsung. Bissu perempuan yang umumnya ada di
desa tidak tahu tentang keberadaan sejawatnya.
Saat berada di Pangkep, Intisari sempat menemui
Puang Temmi, salah satu bissu perempuan, di
rumahnya di desa Kanaungan. Rumah itu seperti
umumnya rumah-rumah desa di Sulawesi, berbentuk
rumah panggung dan dikelilingi pepohonan jambu
mete, mangga, lontar serta persawahan. Di
kampungnya, ia dikenal sebagai sanro dengan banyak
pasien.
Mak Temmi begitu perempuan tua itu dipanggil, selalu
menyambut hangat tamu-tamunya. Tak ada yang tahu
berapa usianya. Ia sendiri hanya mengatakan, “Lebih
dari 60 tahun.” Mungkin juga lebih. Meski begitu,
fisiknya masih terlihat segar dan selalu bersemangat.
Sebatang rokok kretek putih buatan lokal selalu
menemaninya di kala bercakap-cakap. Di situ kami
diberitahu, Mak Temmi sebenarnya “sudah tahu” bakal
kedatangan tamu dari jauh. “Cuma belum tahu siapa
orangnya,” katanya.
Setiap tamu Mak Temmi untuk urusan bissu, akan
ditawari untuk menghadap pusaka miliknya. Sekedar
permisi dan mengutarakan niat kedatangan saja.
Tempat arajang itu terletak di sebuah ruangan yang
terletak di tengah rumah, antara kamar dan dapur.
Sebagai syarat, diperlukan beberapa lembar daun sirih.
Mak Temmi sendiri yang kemudian mengenalkan para
tamu dengan pusakanya itu.
Menurut Eka yang menemani kami, pusaka milik Mak
Temmi berbentuk batu-batuan, peci tradisional Bugis,
dan sebilah keris. Semua ditempatkan dalam altar
dengan bermacam pernak-pernik untuk memperindah.
Di sekitarnya ada piring-piring kecil sesaji, serta foto-
foto tua leluhur keluarga Mak Temmi. Di bawah altar
ditaruh makanan berupa nasi dan lauk pauk untuk
sesaji. Aroma kemenyan dan dupa yang dibakar
memenuhi ruangan sempit itu.
Pusaka-pusaka semacam ini memang erat kaitannya
dengan spiritualitas kaum bissu. Bentuknya bermacam-
macam, bisa berupa batu-batuan, senjata, alat
pertanian atau bahkan buah-buahan yang sudah
mengering. Istimewanya, benda-benda ini didapat dari
petunjuk gaib kepada calon pemilik pusaka.
Pusaka berfungsi sebagai simbol adanya ikatan antara
kekuatan gaib dengan kelompok atau keluarga
tertentu. Kaum bissu meyakini, jika benda-benda
keramat ini dirawat baik, maka empunya benda akan
senantiasa dibimbing makhluk-makhluk gaib di
dalamnya. Namun jika tidak dipelihara, makhluk gaib
tidak akan menghiraukan mereka juga, bahkan konon
pusaka itu bisa hilang secara misterius.
Hari itu kami beruntung bisa menyaksikan dua upacara
kecil yang dipimpin Mak Temmi. Keduanya upacara
ucapan syukur atas keberhasilan panen ikan. Satu
diselenggarakan di belakang rumah Mak Temmi,
sedang yang lain berjarak sekitar tiga kilometer dari
sana. Sebagai bissu, Mak Temmi mengadakan dialog
dengan dewa-dewa tertentu serta arwah-arwah leluhur.
Bahkan ia menggunakan tubuhnya sebagai medium
bagi arwah-arwah tertentu dan dapat bercakap-cakap
dengan peserta upacara lain.
Selesai upacara, setiap orang akan selalu diminta
menyantap makanan yang digelar sebagai sesaji.
“Manre, manre,” kata Mak Temmi dalam bahasa Bugis
yang berarti makan. Ia menyilakan tetamunya sebagai
wujud syukur. Walau perut kenyang sekalipun, setiap
orang harus mencicipi makanan yang terhidang.
Konon, dalam adat Bugis, yang utama dalam
kehidupan adalah mencukupi kebutuhan pangan,
sandang dan papan. Jika semua sudah terpenuhi, tidak
ada keinginan muluk lainnya.
“Ayo. Makan. Kalau kita menolak makan,” bisik bissu
Eka, “Bisa saja dengan ketus bissu Temmi bilang,
‘Buat apa lagi hidupmu, kalau tidak untuk makan?
Kalau menolak, saya doakan nanti hidupmu malah
kesulitan makanan’.” Masalah benar-tidaknya kami
tidak tahu, yang jelas cerita itu sempat membuat hati
kami kecut.
Tak terbatas waktu
Lekatnya ritual bissu dengan dunia gaib kami saksikan
sendiri di rumah Mak Temmi, melalui maggiri. Acara
itu semacam demonstrasi kekebalan dengan
menusukkan keris ke badan. Biasanya maggiri
dilakukan sebagai bagian dalam upacara resmi atau
pertunjukan besar kaum bissu. Tapi saat itu Mak
Temmi, Eka dan Bissu Mattang, bersedia
mempertunjukkannya kepada kami.
Tidak banyak persiapan yang dilakukan. Namun
ketiganya harus berpakaian bissu dan sejenak terlihat
mengucapkan mantra-mantra. Pertunjukan diawali
dengan tari-tarian sederhana diiringi alat musik
palapasa. Alat musik itu hanya terdiri atas dua bilah
bambu yang dipukulkan satu sama lain. Bunyi-bunyian
lain, berasal dari pantat piring dan mangkuk yang
saling digesekkan sehingga timbul suara berisik.
Tak
sampai sepuluh menit kemudian, satu persatu bissu
mulai ber-maggiri. Keris ditusukkan ke pangkal leher
sambil diputar-putar seperti mengebor. Saat
melakukannya, sesekali kaki mereka dihentak-
hentakan ke lantai. Meski ditusukkan berulang-ulang
ke badan, keris sama sekali tidak menembus kulit,
bahkan tidak timbul darah atau luka. Beberapa
penonton terlihat ngeri dan membuang pandangan.
Saat maggiri, konon bissu melakukannya sambil
kesurupan. Ekspresi wajah mereka terlihat biasa saja,
namun tatapan matanya seperti tidak memperhatikan
keadaan sekelilingnya. Sementara tubuh mereka
mengikuti hentakan-hentakan palapasa yang ritmenya
tidak beraturan.
Uniknya, seorang bissu tidak bisa menghentikan
maggiri jika tidak disadarkan bissu lain dengan cara
dipegang tangannya. Jika tidak disadarkan, acara itu
bahkan bisa berlangsung seharian. “Kalau kami maggiri
di depan para bissu, kadang kami iseng bercanda, ada
bissu-bissu yang kami biarkan maggiri sampai lama,
sampai pagi,” kisah Eka tertawa-tawa.
Bergelar haji
Meski akrab dengan dunia gaib, bissu tidak sudi jika
dikatakan tak beragama. Setidaknya para bissu
mengaku mengikuti keyakinan mayoritas masyarakat
Bugis sekaligus agama yang dianut sejak kecil, yaitu
Islam. Ibadah sholat dikerjakan sehari-hari sebagai
lelaki.
Memasuki usia senja, beberapa bissu bahkan
mendalami agama lebih serius. Mereka semakin
menata hidup dengan beribadah haji, namun tanpa
menanggalkan status kebissuannya. Beberapa di
antaranya bahkan menduduki jabatan penting, seperti
Matowa dari Bone yaitu Haji Daeng Tawero dan
Matowa dari Wajo adalah Haji Janna. Beberapa bissu
juga belakangan diketahui berumah tangga.
Dalam lembaga bissu, ketentuan tentang pengunduran
diri seorang bissu tidak terlalu jelas. Ikatan hanya
terjadi akan kesakralan irreba yang merupakan
kontrak spirtual mereka dengan para dewa. Konon,
tak sedikit bissu yang melanggar ketentuan dari dewa
kemudian mendapat celaka. Misalnya bila mereka
melakukan tindakan asusila.
Di tengah derasnya hujaman budaya global di Sulsel,
bissu tetap mencoba bertahan. Setidaknya eksistensinya
di masyarakat perlahan disegarkan kembali. Bukan
hanya sebagai sekadar atribut budaya, namun juga
sebagai manusia yang berbudaya.
Belahan Jiwa Bissu Muda
Sesungguhnya tidak banyak yang bisa diungkap dari
tradisi bissu dan kehidupan sehari-harinya di masa
silam. Sosok dan perilaku mereka relatif tidak terlalu
terbuka, sementara masyarakat sendiri tidak terlalu
campur tangan atau ambil peduli. Terutama yang
menyangkut menyangkut kehidupan seksual mereka.
Tidak hanya menyangkut penampilan dan perilaku,
karena terikat spiritualitasnya, kaum bissu sebenarnya
memiliki pantangan untuk melakukan hubungan seks.
Jika belakangan ini muncul kecenderungan para bissu
mempunyai teman hidup yang disebut to boto, tentu
ini jadi gunjingan empuk di masyarakat. To boto atau
ada yang menyebutnya kaik, tentulah pria.
Bissu Eka menepis anggapan bahwa to boto adalah
kekasih, layaknya hubungan cinta lelaki-perempuan.
“Dia itu pendamping, orang yang membantu bissu
sehari-hari,” tegasnya. Pria bernama Rustam, to boto-
nya sekarang, sukarela datang ke rumahnya dan
tinggal bersama sejak lebih dari dua tahun lalu.
Sebelum tinggal bersamanya, Rustam telah beristri.
Bahkan Eka sempat berurusan dengan polisi gara-gara
to boto ketiganya ini.
Menurut Eka, bissu harus melepaskan to boto jika
telah hidup bersama selama tiga tahun. To boto itu
kemudian harus dinikahkan dengan orang lain atas
tanggungan bissu. “Karena kita dianggap telah
menghalangi rejekinya, karena selama tiga tahun dia
tidak bergaul sama perempuan,” katanya, “Setahun
lagi, saya akan lepas dia.”
Halilintar Lathief mengungkapkan, jika memang bissu
berniat mencari pacar, sebenarnya hal itu semudah
menjentikkan jari. “Di antara ilmu yang mereka
kuasai, ada ilmu-ilmu pemikat, seperti misalnya
cenning rara,” katanya. Ilmu semacam ilmu pelet ini
bisa dipakai untuk memikat siapa saja, baik lawan
maupun sesama jenis. Bahkan bisa dipakai untuk
berdagang atau merias pengantin agar terlihat cantik di
mata tamu undangan.
Untuk mengendalikan libido, lanjut Halilintar, dalam
tradisi Bugis kuno yang juga dianut bissu masa lalu,
terdapat ajaran paneddineng parinnyameng. Artinya
“khayalan yang membawa nikmat”, atau kira-kira
tindakan yang bisa memuaskan libido tanpa harus
berhubungan seks, namun melalui proses spiritual.
“Walau mitos ini lama sekali, tapi masih ada aliran-
aliran tertentu di Bugis yang mempraktekkannya
sekarang ini,” katanya. Sayang sekali, bissu masa kini
sudah tidak ada yang mempelajarinya.


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.