This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 08 Desember 2012

Permata

Permata termahal di dunia , konon jabarnya permata ini tak ternilai harganya


Senin, 12 November 2012

Kisah Unik Di Balik Tegasnya aturan Di Champus SPPN Bone...Tahun 1989 - 1992

Spp negeri bone, km 8 watampone desa waetuo kec.awampone kabupaten bone. Adalah satu satunya sekolah  lanjutan tingkat atas yang berada di bawah naungan dinas kelautan dan perikanan ....
     Jauh dari hiruk pikuk ramainya kota bone...di dalam kampus seluas kurang lebih 8 hektar, kami mengadu nasib, menimba ilmu, dengan penuh kedisiplinan, walaupun di sela2 ketatnya kedisiplunan yang ada, sangat banyak kisah 2 unik yang mungkin lepas dari pengamatan para senior dan para pembimbing,,
      Di sini saya akan menguraikan beberapa kisah unik yang pernah ada masa saya sendiri beraktifitas sebagai pelajar di kampus biruku tahun 1989 sampai 1992,,mulai dari senin pagi sampai minggu sore..
      Jam 4.30 subuh , para petugas piket sudah mulai keliling membangunkan teman teman mulai dari asrama putri sampai 2 asrama putra...ada yang begitu di bangunkan langsung bangun sholat subuh, tapi ada juga yang ntr di siram baru bangun wkwkwkw basah semua........kemudian di lanjut dengan aktifutas sholat subuh , kemudian olah raga pagi,mandi dan makan pagi, semua harus melewati absen dari piket kelas masing2...
      Jam 8.00 selepas makan pagi di lanjut dengan upacara bendera yang di pimpin oleh komandan piket, kemudian di lanjut dengan jegiatan klasikal sampai jam 2.00 siang....
      Pada saat kegiatan klasikal , penyakit yang paling umum di dapatkan yaitu tidur sambil belajar wkwkwk....lucu memang tapi itulah keadaan nyata,,, setelah sarapan pagi dengan lauk seadanya, yah kadang ikan,kadang tempe , kadang tahu, serta segelas teh, kalo mau kebih yah gitu deh mesti nyolong jatah teman.....tradisi yang semua siswa mungkin pernah ngelakuin....hahahahahaha....kalo yang pernah maaf yah....
       Setelah pulang dari klasikal lanjut makan siang, dengan menu unik yaitu kadang daging ayam, daging sapi yang yah....5 butir sebesar kelereng... tapi kenyang juga,,kembali kalo mau lebih yah nyolong jatah temen...hahahah...
      Jam 3,30 lanjut dengan jegiatan sore berupa kerja bakti, pramuka, karate, pelestarian lingkungan hidup , dll semua tak oernah lupt dari absen...
      Nah skarang saya ajan memasuki kisah unik yang jarang di ketahui oleh penghuni pembina.....pada saat saya bertugas jadi piket penanting, saya pernah nyolong kolak, dan simpan di sketer trus saya kunci, kemudian balik ke ruang makan tuk ngerjain tugas, trus pada saat tadi bawa kolak nurdin ngeliat aku, makanya di juga mo nyolong kolak yang aku colong hahahaha maling teriak maling, karna ga bisa di goyang2 sketer aku,,, taulah hasilnua semua baju dan peralatan sekolah jadi kolak hahahahahahah.....
      Trus pada saat bertugas piket,,saya sering nyolong celana dalam xw yang di selipkan di balik kostum yang di hanger ...hahahaha lucunya semua cd yang ku coling pun di colong si nurdin untuk di pakai....naudzu biLLAh......
       Ntar yah di lanjut lagi dah pegel nih ngetik....sabar makin hari makin seru.........

Selasa, 02 Oktober 2012

Pammiring ulaweng ri bone

Situs Sejarah Tana Bone
Situs Sejarah Bugis Bone merupakan lokasi atau
tempat yang menjadi sejarah bagi rakyat Bugis Bone
dan juga menjadi bagian tempat sejarah negara
Indonesia. Lokasinya disekitar Watampone Kabupaten
Bone Sulawesi Selatan.
Bugis merupakan suku yang tergolong ke dalam suku-
suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah
gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya
Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang
berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja
pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana,
Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika
rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka
mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki
dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut
dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari
We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu,
ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri
adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa
anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra
terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000
halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang
dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam
karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat
Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi
masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa
tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Kerajaan Bugis klasik antara lain :
Bone,
Luwu,
Wajo,
Soppeng,
Suppa,
Sawitto,
Sidenreng,
Rappang.
Bola Soba
Rumah yang berbentuk panggung dan biasanya
memiliki 3 bagian yaitu bagian atas, tengah dan bawah.
RUmah ini menjadi inspirasi bagi pembangunan
Rumah Besar (Saoraja). Bagian atas untuk menyimpan
(lumbung) padi/makanan. Tempat tinggal ada di
bagian tengah. Sejak jaman Belanda sudah jarang
dibangun Rumah Adat Bone dengan kayu, lebih
banyak dari semen. Sekarang masih tersisa di daerah
Watampone.
Patung Arung Palakka
Raja pemersatu rakyat Bugis dan wilayah Sulawesi,
gagah berani dan mempunyai sifat terpuji. Pahlawan
Bone, Pahlawan Kemanusiaan. Arung Palakka yang
mengeluarkan masyarakat Bone dari garis kemiskinan
dan tindasan kerajaan lain.
Masjid Tua Al Mujahidin
Merupakan salah satu jejak Islam di Tanah Bone.
Berada di tengah-tengah kota Watampone. Mesjid ini
masih asli dan merupakan salah satu dari jejak Islam
di Sulawesi. Memiliki sebuah tembok pertahanan
dengan tebal sekitar 1 meter.
Tana Bangkala'e
Dahulu kerajaan di tanah Sulawesi sering terjadi
selisih paham semisal antara Kerajaan Goa, Kerajaan
Bone, dan Kerajaan Luwu. Untuk mempersatukannya
dibentuklah simbol pemersatu ketiga kerajaan itu.
Tanah Bangkalae itu merupakan penyatuan tanah dari
3 kerajaan tersebut dengan tujuan agar ke-3 kerajaan
tersebut bersatu. Menjadi tempat pelantikan raja yang
dimulai dari Raja Bone saat itu yaitu Raja Bone ke
16. Tanah Bangkalae adalah tanah tempat pelantikan
raja, berwarna kemerah-merahan, dan dianggap sebagai
Tanah Dewa.
Saoraja Petta Ponggawae
Rumah Besar Bola Soba bertingkat 5 milik seorang
raja Bone untuk panglimanya. Rumah ini adalah Istana
Panglima Perang Bone dengan atap bertingkat 4,
sedangkan rumah Raja memiliki atap bertingkat 5.
Sekarang menjadi tempat pelestarian budaya Bugis
Bone.
Merupakan rumah Raja Bone ke-31, Andi
Mapparinggi bergelar LAWAWOWOI KARAENG
SIGERI MATINROE RI BANDUNG, yang dijadikan
sebagian rumahnya dijadikan museum Bugis Bone.
Museum ini menjadi tempat penyimpanan benda-benda
seni dan budaya tradisional Bugis Bone. Dahulunya
pernah menjadi gedung DPRD Kabupaten Bone.
Menyimpan gambar raja-raja Bone dan benda-benda
duplikat upacara adat istiadat Bone.
Arajangnge
Menyimpan benda-benda milik Arung Palakka yang
juga merupakan benda-benda pusaka seperti Payung
Emas, Payung Perak, Sarung dan Pegangan, serta
Selempang/Salimpang Emas (Sembangengpulaweng)
yang panjangnya 177 cm dengan berat 5 kg emas
murni 24 karat. Setiap tahunnya dilakukan
pembersihan benda-benda bersejarah dan sakral
tersebut. Museum ini dibuka setahun sekali pada hari
jadi Tanah Bone mengingat banyak benda bersejarah
yang sangat perlu dilindungi.
Situs Manurungnge Ri Matajang
Disinilah tempat terjadi kontrak pemerintah Rakyat
Bone (Tujuh raja-raja kecil) dengan Manurung
E.rimatajang Raja Bone Pertama pada tanggal 16
April 1330 dan menjadi hari lahirnya Kabupaten
Bone. Berada di lokasi Kecamatan Tanete Riatan.
Manurung merupakan manusia suci yang turun dari
langit. Manurunge adalah pemersatu rakyat yang
bertikai saat itu (matoa-mata) ke dalam Kerajaan
Bone. Raja Manurung E.ri sebenarnya tidak diketahui
asal usulnya sehingga di gelar Manusia Suci yang
Turun dari Langit.
Berkata rakyat Tana Bone,
"agar menetaplah di Tanah Bone
dan engkau yang kami angkat menjadi
raja untuk memimpin kami, namun
anak dan istri kami, bila engkau
tidak menyetujuinya, kamipun
menurut kepadamu, asalkan engkau
.... keselamatan kami dan ....."
Maaf tulisan tidak lengkap
Dan berkata Manurung E.ri,
"Saya menjunjung tinggi di atas kepala saya dan
menghargai kata-kata dan persatuanmu untuk
mengangkat saya menjadi raja."
Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri
Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone
dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal
dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri Matajang
dikenal juga dengan nama Mata Silompoe. Adapun
ade' pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa
tanete riattang, matoa tanete riawang, matoa macege,
matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung.
setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone
dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre
Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa' anak dari
adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu
Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone)
ketiga ini, secara massif Bone semakin memperluas
wilayahnya ke utara, selatan dan barat.
Situs Perjanjian Tellu Boccoe
Tempat perjanjian Raja Bone, Raja Wajo dan Raja
Soppeng. Bunyi perjanjian itu "Barang siapa pihak
kerajaan yang melihat cahaya titik cahaya terang,
maka kerajaan itu yang berhak memberitahu saudara-
saudaranya yang berjanji". Inilah kesepakatan ketiga
kerajaan itu dalam menghadapi musuh-musuh yang
ingin menghancurkan daerah tersebut. Mereka
bekerjasama, sebuah perjanjian suci untuk saling bahu-
membahu menghadapi musuh.

6Menguak tabir bissu di bugis

Tidak Semua Waria adalah Bissu
Dalam budaya Bugis masa silam, waria, wandu, atau
banci, punya kedudukan terhormat yakni sebagai
“penyambung lidah” rakyat dan raja, dengan para
dewa. Dalam perjalanannya, peran bissu – begitu
kaum waria sakti ini disebut – perlahan menghilang,
bahkan nyaris punah gara-gara perubahan iklim politik
negeri ini. Kini, mereka yang tersisa, mencoba bangkit
kembali.
Kecamatan itu bernama Segeri. Letaknya di Kabupaten
Pangkajene Kepulauan (Pangkep), sekitar 70
kilometer arah Utara Makassar. Di daerah pesisir Barat
Sulawesi Selatan itu, terdapat ratusan tambak
penghasil bandeng, kepiting dan udang. Bisa jadi
karena orang Sulsel umumnya gemar makan ikan,
maka daerah ini bisa dikenal luas. Jalan Trans-
Sulawesi, jalur darat dari Makassar ke Manado, juga
melintasi daerah ini.
Di Segeri, tepatnya di sekitar Pasar Sentral, rasanya
tak ada yang tidak mengenal Eka. Pemilik Salon
“Eka” yang sekaligus dikenal sebagai perias pengantin
andal. Kata orang, riasan tangan gemulainya bisa
membuat pasangan pengantin terlihat lebih cantik dan
bercahaya. Tapi selain itu, waria 29 tahun ini juga
dikenal masyarakat sebagai satu dari sedikit bissu yang
tersisa di Segeri.
Bissu, gampangnya bisa kita sebut sebagai pendeta
agama Bugis kuno pra-Islam. Asal katanya bessi,
berarti bersih. Para waria yang menjadi bissu dianggap
suci, tidak kotor, karena mereka tidak berpayudara dan
tidak menstruasi. Selain waria, ada pula bissu
perempuan, yaitu mereka yang menjadi bissu setelah
mengalami menopause.
Selayaknya pria-pria berjiwa perempuan, Eka dan para
waria lain bermata pencaharian yang terkait urusan
kawin-mawin. Mereka menangani tata rias, membuat
baju pengantin, peralatan pesta, bahkan sampai tata
urutan perayaannya. Penghasilannya jauh dari sekadar
lumayan. Saat musim hajatan, wedding organizer
tingkat kampung macam Eka, bisa menangani lima
sampai sepuluh pasang pengantin per hari. Satu pasang
tarifnya paling minim Rp 2 juta.
“Penghasilan dari sini, lumayan. Tapi itu ‘kan buat
dikasih ke anak buah juga dan beli peralatan. Sama
masih buat bantu-bantu keluarga,” tutur Eka, yang
ketika ditemui Intisari di rumahnya, sedang
menyiapkan baju pengantin dan beberapa
perlengkapan lain. Mulai Maret hingga Juli, order
pesta nikah sedang mencapai puncaknya. “Biasanya
ramai kalau setelah panen tambak dan waktu terang
bulan,” tambahnya sambil terus menjahit.
Saat ini Eka memang tengah menikmati hasil jerih
payah kehidupannya, setelah bertahun-tahun sempat
dilaluinya dalam penderitaan. Dia, seperti juga
kebanyakan waria lain, pernah mengalami penolakan
dari keluarga dan masyarakat karena dianggap
abnormal. Laki-laki kok banci, hardik mereka.
Panggilan spiritual menjadi bissu yang kemudian
mengangkat derajatnya menjadi “bukan sekadar waria
biasa”.
Bertanya hari baik
Dalam bahasa Bugis, waria disebut calabai. Asalnya
dari kata sala bai atau sala baine, yang artinya “bukan
perempuan”. Karena terlahir sebagai pria tapi
bertingkah seperti perempuan, bukan rahasia lagi kalau
kemudian sebagian masyarakat mengejek dan
mencemooh kaum ini. Tak terkecuali di Sulsel.
Padahal dalam tradisi adat dan budaya Sulsel yang
berakar kepada kerajaan Luwu, calabai yang
bertransformasi menjadi bissu, sesungguhnya mendapat
tempat terhormat. Diriwayatkan dalam Surek Galigo
atau naskah-naskah Bugis kuno masa Hindu, Raja
Luwu diturunkan dari langit bersama Latimojong dan
Lae Lae, yang adalah bissu pertama. Dalam epos-epos
La Galigo, bissu juga selalu menjadi penyempurna
keberadaan tokoh-tokoh utamanya.
Sejak masa awal sejarah, masyarakat Bugis mempunyai
sistem kepercayaan dengan konsep dewa tertinggi atau
To PalanroE. Sistem kepercayaan ini disebut juga
attoriolong, atau secara harafiah berarti “mengikuti
tata cara leluhur”. Lewat attiorolong diwariskan
petunjuk-petunjuk normatif dalam kehidupan
masyarakat. Sampai sekarang, kepercayaan ini
sebenarnya tidak benar-benar punah.
Dewa tertinggi dalam attoriolong disebut PattotoE,
yang diyakini mempunyai anggota keluarga dewata lain
dengan bermacam tugas. Setelah menciptakan alam
raya, dewa penentu nasib ini kemudian beristirahat.
Untuk memuja PattotoE atau sejak masa Islam
disebut juga Dewata SeuwaE, tidak bisa langsung,
melainkan lewat dewa pembantu-pembantunya.
“Ini semacam konsep deisme. Kepercayaan di Sulawesi
memang pertemuan antara kepercayaan yang ada di
Barat, seperti Jawa atau Kalimantan, dengan Timur,
seperti di Papua,” kata Dr Halilintar Lathief, peneliti
budaya Bugis yang tinggal di Makassar. “Tapi bissu
tidak terkait dengan Tolotang, agama Bugis kuno lain
yang pengikutnya sekarang masih banyak di Kabupaten
Sidrap,” tambahnya.
Dalam attoriolong, bissu adalah perantara antara langit
dengan bumi. Ini dimungkinkan karena bissu
menguasai Basa Torilangi, atau bahasa langit yang
hanya dimengerti sesama bissu dan para dewa. Lewat
bahasa itu, bissu membacakan mantra dan doa dalam
pelbagai upacara keagamaan baik bersifat kenegaraan
atau kelompok keluarga.
Dalam kehidupan sehari-hari, peran bissu begitu
penting, bahkan mencakup hampir semua sendi
kehidupan masyarakat Bugis masa silam. Mereka
pengabdi dan penjaga tempat penyimpanan benda-
benda pusaka atau arajang. Mereka berpartisipasi
dalam upacara untuk benda-benda pusaka itu.
Kedudukan bissu juga erat dengan istana karena
mereka konon adalah penasehat sekaligus turut
mendidik putra-putri raja.
Sebagai praktisi spiritual, masyarakat sering bertanya
kepada bissu tentang hari-hari baik untuk hajatan dan
memulai pekerjaan besar seperti pernikahan, pindahan
rumah, atau memulai musim tanam. Saat upacara itu
berlangsung, bissu juga berperan menyampaikan
ucapan syukur dari empunya hajat kepada dewa-dewa
tertentu lewat dialog yang dilakukannya.
Acara besar tahunan masa silam yang melibatkan bissu
adalah mappalili. Upacara yang belakangan mulai
dihidupkan kembali ini, aslinya diadakan 40 hari siang-
malam, dengan melibatkan 40 bissu. Seluruh
masyarakat ikut aktif, bahkan membiayai seluruh
kegiatan. Masyarakat saat itu meyakini, tanpa
mappalili, panen mereka bisa terganggu.
Yang termasuk bergengsi, menurut Halilintar, bissu
pula yang melakukan penobatan pemimpin bahkan
raja. “Begitu ampuhnya doa bissu ini, sehingga diyakini
raja atau pejabat yang tidak dilantik bissu, tidak akan
mempunyai kharisma dalam masa kepemimpinannya,”
katanya. Agaknya ini yang menimbulkan anggapan
bahwa kedudukan bissu lebih tinggi dari pemimpin
setempat, karena tidak akan ada pemimpin jika tidak
ada bissu.
Para bissu dalam suatu wilayah berhimpun dalam satu
lembaga bissu yang dipimpin seorang puang matowa.
Sang ketua ini dianggap seseorang yang paling luas
pengetahuannya tentang adat, tradisi, serta mampu
memimpin. Wakilnya adalah puang lolo, artinya tuan
muda, yang juga calon pengganti puang matowa bila
suatu saat mangkat. Dwitunggal matowa-lolo ini
disebut anreguru, atau guru yang mengajar anak-anak
didiknya yang terdiri atas ana’ bissu.
Dalam lembaga bissu banyak terdapat gelar. Seorang
bissu ahli pengobatan atau dukun disebut sanro. Bila
pandai berbahasa bissu disebut bissu dewata. Bissu
keturunan bangsawan disebut bissu patudang. Tradisi
yang berjalan beratus-ratus tahun ini membuat gelar
dan istilah di setiap lembaga bissu mempunyai banyak
perbedaan.
Dipaksa jadi lelaki tulen
Sejarah mencatat, kedatangan Islam ke Sulawesi pada
abad 16 mulai mendesak keberadaan bissu. Keyakinan
dan ritual yang dilakukan bissu, sempat mendapat
tentangan. Namun ajaran Islam yang kemudian
perlahan diterima, malah menimbulkan sinkretisme.
Mantra-mantra bissu dalam bahasa Bugis kuno
tercampur petikan ayat-ayat Al’Quran. Bahkan pada
beberapa bagian mantra masih tersisa peninggalan
Hindu dan Tolotang.
Ancaman sesungguhnya terjadi pascakemerdekaan.
Gerombolan Darul Islam dipimpin Kahar Muzakar
mencoba menumpas segala yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam di Sulsel. Bissu dan juga kepercayaan
tradisional lain mengalami masa cobaan berat. Benda-
benda pusaka bissu di rumah-rumah pusaka
dimusnahkan. Para bissu dipaksa menjadi lelaki tulen
dengan bekerja kasar. Tak ada data pasti, tapi tak
sedikit bissu yang terbunuh saat itu, terutama para
sanro.
Setelah peristiwa G30S/PKI, tekanan malah semakin
berat. Sebuah organisasi kepemudaan yang menggelar
operasi bernama Operasi Toba (operasi tobat)
memburu bissu dengan alasan menjadi bagian dari
gerakan komunis. Mereka dinilai tidak beragama,
melakukan perbuatan sirik dan menganut ajaran
animisme.
Gawatnya, kala itu muncul doktrin bahwa siapa pun
yang melihat bissu atau waria sekalipun, maka doa,
pahala dan rezeki selama 40 hari siang-malam akan
sia-sia. Karena takut, masyarakat manut. “Akibatnya
bila terlihat bissu di kampung, mereka diusir,
ditimpuki. Kebanyakan mereka mengungsi berjalan
kaki ratusan kilometer dari Pangkep ke Bone. Tanpa
makan dan keluar-masuk hutan,” kata Halilintar yang
banyak mendengar kisah-kisah sedih dari bissu-bissu
tua yang selamat.
Tekanan bertahun-tahun itulah yang membuat bissu
kini seolah menjadi makhluk langka. Komunitas yang
tersisa diketahui hanya terdapat di Kabupaten
Pangkep, Bone, Wajo dan Soppeng. Jumlah tepatnya
tidak diketahui, namun dipastikandi tiap kabupaten
hanya bisa dihitung pakai jari. Tidak tertutup
kemungkinan ada juga bissu-bissu yang terpencar dan
tidak terdata.
Padahal pada masa silam, di tingkat kerajaan –
sekarang kurang lebih setingkat kabupaten – minimal
terdapat 40 bissu. Jumlah itu sesuai syarat
penyelenggaraan upacara mappalili. Namun saat ini
tidak ada satupun komunitas bisa mencapai angka
demikian. Di Segeri misalnya, kini hanya terdapat tak
lebih dari empat bissu.
Kendala lain adalah soal beratnya persyaratan menjadi
bissu. Untuk menjadi bissu, seorang waria harus
mendapat panggilan spiritual, yang bisa berupa mimpi,
sakit, atau pertanda lain. Bila si waria sudah bertekad
bulat, ia harus magang belajar di rumah puang matowa
selama beberapa waktu sebelum dinyatakan siap
ditahbiskan dalam upacara irreba. Meski telah
melewati masa belajar hingga bertahun-tahun, belum
tentu semua bissu akan lulus.
Bissu Eka misalnya, yang ditahbiskan pada 2003,
menjalani masa magang selama empat tahun.
Perjalanan spiritualnya sendiri diawali lewat mimpi
semasa SMP. Dalam mimpinya, ada seorang tua
berbaju putih yang menyuruhnya pergi ke rumah
pusaka. “Waktu itu saya takut ke sana. Lihat bissu-
bissu itu saja takut karena pakaian mereka perempuan,
tapi mukanya besar-besar,” kenangnya. Sampai pada
mimpi ketiga barulah ia memberanikan diri. Waria
bernama kecil Kahar ini mengakui sejak kecil memang
merasakan ada kelainan dalam dirinya yang lebih suka
berlaku seperti perempuan.
Di rumah puang matowa, Eka mempelajari ilmu-ilmu
bissu yang hanya beredar di kalangan mereka.
Beruntung dia termasuk cerdas dalam menyerap semua
pelajaran dari senior-seniornya. Di sana, Eka juga
belajar keterampilan rias pengantin dan tata caranya
menurut adat Bugis. Para calon bissu muda saat ini
umumnya sudah membekali diri dengan keterampilan
semacam ini, karena kehidupan mereka tidak lagi
disokong masyarakat seperti masa silam.
Menurut Eka, panggilan spiritual menjadi bissu tidak
bisa direkayasa, apalagi sampai berbohong. Sebagai
pemimpin, puang matowa juga akan mendapat isyarat
tentang adanya waria yang akan datang magang di
rumahnya. Sesama bissu juga mendapat semacam
anugerah untuk dapat mengetahui basa torilangi, meski
tidak ada yang mengajarkan ke mereka.
Seorang bissu idealnya harus dapat menjaga tingkah
laku di masyarakat. Sejatinya, seorang bissu menjalani
kehidupan spiritual dan menjauhi segala keduniawian.
Mereka tidak bisa lagi bersikap genit, seperti
umumnya waria muda lain. Penampilan harus
senantiasa sopan. Mereka juga wajib berperan dalam
upacara-upacara adat jika dibutuhkan.
Kelangkaan bissu tak pelak membuat kualitas mereka
kian hari kian menurun. Sebagai pendamping
komunitas bissu selama puluhan tahun melalui LSM
Padat Daya, Halilintar mengakui hal ini. Ada daerah-
daerah tertentu yang belakangan banyak mentahbiskan
bissu, tapi kualitasnya dipertanyakan. “Banyak waria
yang sudah menjadi bissu tapi tidak paham
sepenuhnya tentang bissu itu sendiri,” ungkapnya.
Halilintar juga menyangkan, belakangan di kalangan
bissu juga muncul gejala adanya “teman hidup” bissu
yang disebut to boto. “Istilah ini sebenarnya adalah
untuk ahli ramal kerajaan pada masa lalu, tapi
sekarang menyempit menjadi lelaki teman kencan atau
pacarnya bissu,” kata pengajar di Universitas Negeri
Makassar ini prihatin.
Tidak berkelompok
Sosok bissu sendiri harus diakui memang mengundang
eksotika tersendiri karena mereka berasal dari kaum
waria. Dengan bentuk fisik pria namun bergaya
feminim atau lemah gemulai saja, sudah mampu
menyita perhatian orang lain. Apalagi ketika mereka
dibalut sebagai bagian dari tradisi, wajar jika beraneka
pikiran muncul di benak banyak orang.
Padahal, seperti diungkap Halilintar, dalam Surek
Galigo termuat bahwa dari 40 bissu pertama yang
turun ke bumi, hanya delapan yang waria. “Entah
mengapa yang waria belakangan ini begitu dominan
dibanding bissu perempuan,” katanya. Bahkan dalam
pemilihan Matowa yang baru-baru ini diadakan di
sejumlah komunitas, waria terlihat lebih menguasai
gelanggang.
Keberadaan bissu perempuan seolah menghilang. Bisa
jadi ini disebabkan karena pengalaman spiritual yang
mereka dapat untuk menjadi bissu, didapat melalui
proses sangat individual. Apalagi peran bissu dalam
masyarakat mengalami kemerosotan semasa Orde Baru
berlangsung. Bissu perempuan yang umumnya ada di
desa tidak tahu tentang keberadaan sejawatnya.
Saat berada di Pangkep, Intisari sempat menemui
Puang Temmi, salah satu bissu perempuan, di
rumahnya di desa Kanaungan. Rumah itu seperti
umumnya rumah-rumah desa di Sulawesi, berbentuk
rumah panggung dan dikelilingi pepohonan jambu
mete, mangga, lontar serta persawahan. Di
kampungnya, ia dikenal sebagai sanro dengan banyak
pasien.
Mak Temmi begitu perempuan tua itu dipanggil, selalu
menyambut hangat tamu-tamunya. Tak ada yang tahu
berapa usianya. Ia sendiri hanya mengatakan, “Lebih
dari 60 tahun.” Mungkin juga lebih. Meski begitu,
fisiknya masih terlihat segar dan selalu bersemangat.
Sebatang rokok kretek putih buatan lokal selalu
menemaninya di kala bercakap-cakap. Di situ kami
diberitahu, Mak Temmi sebenarnya “sudah tahu” bakal
kedatangan tamu dari jauh. “Cuma belum tahu siapa
orangnya,” katanya.
Setiap tamu Mak Temmi untuk urusan bissu, akan
ditawari untuk menghadap pusaka miliknya. Sekedar
permisi dan mengutarakan niat kedatangan saja.
Tempat arajang itu terletak di sebuah ruangan yang
terletak di tengah rumah, antara kamar dan dapur.
Sebagai syarat, diperlukan beberapa lembar daun sirih.
Mak Temmi sendiri yang kemudian mengenalkan para
tamu dengan pusakanya itu.
Menurut Eka yang menemani kami, pusaka milik Mak
Temmi berbentuk batu-batuan, peci tradisional Bugis,
dan sebilah keris. Semua ditempatkan dalam altar
dengan bermacam pernak-pernik untuk memperindah.
Di sekitarnya ada piring-piring kecil sesaji, serta foto-
foto tua leluhur keluarga Mak Temmi. Di bawah altar
ditaruh makanan berupa nasi dan lauk pauk untuk
sesaji. Aroma kemenyan dan dupa yang dibakar
memenuhi ruangan sempit itu.
Pusaka-pusaka semacam ini memang erat kaitannya
dengan spiritualitas kaum bissu. Bentuknya bermacam-
macam, bisa berupa batu-batuan, senjata, alat
pertanian atau bahkan buah-buahan yang sudah
mengering. Istimewanya, benda-benda ini didapat dari
petunjuk gaib kepada calon pemilik pusaka.
Pusaka berfungsi sebagai simbol adanya ikatan antara
kekuatan gaib dengan kelompok atau keluarga
tertentu. Kaum bissu meyakini, jika benda-benda
keramat ini dirawat baik, maka empunya benda akan
senantiasa dibimbing makhluk-makhluk gaib di
dalamnya. Namun jika tidak dipelihara, makhluk gaib
tidak akan menghiraukan mereka juga, bahkan konon
pusaka itu bisa hilang secara misterius.
Hari itu kami beruntung bisa menyaksikan dua upacara
kecil yang dipimpin Mak Temmi. Keduanya upacara
ucapan syukur atas keberhasilan panen ikan. Satu
diselenggarakan di belakang rumah Mak Temmi,
sedang yang lain berjarak sekitar tiga kilometer dari
sana. Sebagai bissu, Mak Temmi mengadakan dialog
dengan dewa-dewa tertentu serta arwah-arwah leluhur.
Bahkan ia menggunakan tubuhnya sebagai medium
bagi arwah-arwah tertentu dan dapat bercakap-cakap
dengan peserta upacara lain.
Selesai upacara, setiap orang akan selalu diminta
menyantap makanan yang digelar sebagai sesaji.
“Manre, manre,” kata Mak Temmi dalam bahasa Bugis
yang berarti makan. Ia menyilakan tetamunya sebagai
wujud syukur. Walau perut kenyang sekalipun, setiap
orang harus mencicipi makanan yang terhidang.
Konon, dalam adat Bugis, yang utama dalam
kehidupan adalah mencukupi kebutuhan pangan,
sandang dan papan. Jika semua sudah terpenuhi, tidak
ada keinginan muluk lainnya.
“Ayo. Makan. Kalau kita menolak makan,” bisik bissu
Eka, “Bisa saja dengan ketus bissu Temmi bilang,
‘Buat apa lagi hidupmu, kalau tidak untuk makan?
Kalau menolak, saya doakan nanti hidupmu malah
kesulitan makanan’.” Masalah benar-tidaknya kami
tidak tahu, yang jelas cerita itu sempat membuat hati
kami kecut.
Tak terbatas waktu
Lekatnya ritual bissu dengan dunia gaib kami saksikan
sendiri di rumah Mak Temmi, melalui maggiri. Acara
itu semacam demonstrasi kekebalan dengan
menusukkan keris ke badan. Biasanya maggiri
dilakukan sebagai bagian dalam upacara resmi atau
pertunjukan besar kaum bissu. Tapi saat itu Mak
Temmi, Eka dan Bissu Mattang, bersedia
mempertunjukkannya kepada kami.
Tidak banyak persiapan yang dilakukan. Namun
ketiganya harus berpakaian bissu dan sejenak terlihat
mengucapkan mantra-mantra. Pertunjukan diawali
dengan tari-tarian sederhana diiringi alat musik
palapasa. Alat musik itu hanya terdiri atas dua bilah
bambu yang dipukulkan satu sama lain. Bunyi-bunyian
lain, berasal dari pantat piring dan mangkuk yang
saling digesekkan sehingga timbul suara berisik.
Tak
sampai sepuluh menit kemudian, satu persatu bissu
mulai ber-maggiri. Keris ditusukkan ke pangkal leher
sambil diputar-putar seperti mengebor. Saat
melakukannya, sesekali kaki mereka dihentak-
hentakan ke lantai. Meski ditusukkan berulang-ulang
ke badan, keris sama sekali tidak menembus kulit,
bahkan tidak timbul darah atau luka. Beberapa
penonton terlihat ngeri dan membuang pandangan.
Saat maggiri, konon bissu melakukannya sambil
kesurupan. Ekspresi wajah mereka terlihat biasa saja,
namun tatapan matanya seperti tidak memperhatikan
keadaan sekelilingnya. Sementara tubuh mereka
mengikuti hentakan-hentakan palapasa yang ritmenya
tidak beraturan.
Uniknya, seorang bissu tidak bisa menghentikan
maggiri jika tidak disadarkan bissu lain dengan cara
dipegang tangannya. Jika tidak disadarkan, acara itu
bahkan bisa berlangsung seharian. “Kalau kami maggiri
di depan para bissu, kadang kami iseng bercanda, ada
bissu-bissu yang kami biarkan maggiri sampai lama,
sampai pagi,” kisah Eka tertawa-tawa.
Bergelar haji
Meski akrab dengan dunia gaib, bissu tidak sudi jika
dikatakan tak beragama. Setidaknya para bissu
mengaku mengikuti keyakinan mayoritas masyarakat
Bugis sekaligus agama yang dianut sejak kecil, yaitu
Islam. Ibadah sholat dikerjakan sehari-hari sebagai
lelaki.
Memasuki usia senja, beberapa bissu bahkan
mendalami agama lebih serius. Mereka semakin
menata hidup dengan beribadah haji, namun tanpa
menanggalkan status kebissuannya. Beberapa di
antaranya bahkan menduduki jabatan penting, seperti
Matowa dari Bone yaitu Haji Daeng Tawero dan
Matowa dari Wajo adalah Haji Janna. Beberapa bissu
juga belakangan diketahui berumah tangga.
Dalam lembaga bissu, ketentuan tentang pengunduran
diri seorang bissu tidak terlalu jelas. Ikatan hanya
terjadi akan kesakralan irreba yang merupakan
kontrak spirtual mereka dengan para dewa. Konon,
tak sedikit bissu yang melanggar ketentuan dari dewa
kemudian mendapat celaka. Misalnya bila mereka
melakukan tindakan asusila.
Di tengah derasnya hujaman budaya global di Sulsel,
bissu tetap mencoba bertahan. Setidaknya eksistensinya
di masyarakat perlahan disegarkan kembali. Bukan
hanya sebagai sekadar atribut budaya, namun juga
sebagai manusia yang berbudaya.
Belahan Jiwa Bissu Muda
Sesungguhnya tidak banyak yang bisa diungkap dari
tradisi bissu dan kehidupan sehari-harinya di masa
silam. Sosok dan perilaku mereka relatif tidak terlalu
terbuka, sementara masyarakat sendiri tidak terlalu
campur tangan atau ambil peduli. Terutama yang
menyangkut menyangkut kehidupan seksual mereka.
Tidak hanya menyangkut penampilan dan perilaku,
karena terikat spiritualitasnya, kaum bissu sebenarnya
memiliki pantangan untuk melakukan hubungan seks.
Jika belakangan ini muncul kecenderungan para bissu
mempunyai teman hidup yang disebut to boto, tentu
ini jadi gunjingan empuk di masyarakat. To boto atau
ada yang menyebutnya kaik, tentulah pria.
Bissu Eka menepis anggapan bahwa to boto adalah
kekasih, layaknya hubungan cinta lelaki-perempuan.
“Dia itu pendamping, orang yang membantu bissu
sehari-hari,” tegasnya. Pria bernama Rustam, to boto-
nya sekarang, sukarela datang ke rumahnya dan
tinggal bersama sejak lebih dari dua tahun lalu.
Sebelum tinggal bersamanya, Rustam telah beristri.
Bahkan Eka sempat berurusan dengan polisi gara-gara
to boto ketiganya ini.
Menurut Eka, bissu harus melepaskan to boto jika
telah hidup bersama selama tiga tahun. To boto itu
kemudian harus dinikahkan dengan orang lain atas
tanggungan bissu. “Karena kita dianggap telah
menghalangi rejekinya, karena selama tiga tahun dia
tidak bergaul sama perempuan,” katanya, “Setahun
lagi, saya akan lepas dia.”
Halilintar Lathief mengungkapkan, jika memang bissu
berniat mencari pacar, sebenarnya hal itu semudah
menjentikkan jari. “Di antara ilmu yang mereka
kuasai, ada ilmu-ilmu pemikat, seperti misalnya
cenning rara,” katanya. Ilmu semacam ilmu pelet ini
bisa dipakai untuk memikat siapa saja, baik lawan
maupun sesama jenis. Bahkan bisa dipakai untuk
berdagang atau merias pengantin agar terlihat cantik di
mata tamu undangan.
Untuk mengendalikan libido, lanjut Halilintar, dalam
tradisi Bugis kuno yang juga dianut bissu masa lalu,
terdapat ajaran paneddineng parinnyameng. Artinya
“khayalan yang membawa nikmat”, atau kira-kira
tindakan yang bisa memuaskan libido tanpa harus
berhubungan seks, namun melalui proses spiritual.
“Walau mitos ini lama sekali, tapi masih ada aliran-
aliran tertentu di Bugis yang mempraktekkannya
sekarang ini,” katanya. Sayang sekali, bissu masa kini
sudah tidak ada yang mempelajarinya.


Adat dan budaya bugis

Suku Bugis atau to Ugi‘ adalah salah satu suku di
antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka
bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun
dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis
telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.
Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air
disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis
umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari
mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang
dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal
lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang
Bugis itu sendiri di masa lalu.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang
mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan
langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung)
atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk
membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras,
The Bugis, 2006).
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal
to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat
tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang
merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul
keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari
kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan
Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah
Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana
Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika
rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka
merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya
sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La
Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai
dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari
Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan
melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang
membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna
Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang
tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi
masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal
dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili,
Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti
Buton (Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).
Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi
juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di
masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar
di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure‘
galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio
dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah
keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian,
dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘)
dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang
dalam Lontara‘. Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam
La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We‘ Opu
Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘ Tenriabeng (Ibu
We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La
Galigo(Anak Sawerigading dan We‘ Cudai).
Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure‘
Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis
pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara‘ itu berisi
silsilah keluarga bangsawan dan keturunan–
keturunannya, serta nasihat–nasihat bijak sebagai
penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi
kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang
mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan
dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat
setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di
negeri orang.
Konsep Ade‘ (Adat) dan Spiritualitas (Agama)
Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam
teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun,
istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama
yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam,
kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal
dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu
kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat istiadat”,
berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain.
Selain konsep ade‘ secara umum yang terdapat di
dalam konsep pang‘ade‘reng, terdapat pula bicara
(norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam
kehidupan bermasyarakat), wari‘ (norma yang
mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara‘ (syariat
Islam) (Mattulada, Kebudayaan Bugis Makassar :
275-7; La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh
masyarakat Bugis seperti Sawerigading, We‘ Cudai, La
Galigo, We‘ Tenriabeng, We‘ Opu Sengngeng, dan lain-
lain merupakan tokoh–tokoh yang hidup di zaman
pra-Islam.
Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan
yang sangat erat dengan dewa–dewa di kahyangan.
Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara
kembar dari Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng
menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga konsep
ade‘ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta
spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada
kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya upacara-
upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada
penguasa laut, sesaji pada pohon yang dianggap
keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan
bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional
Bugis di masa itu memang masih menganut
kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.
Namun, setelah diterimanya Islam dalam masyarakat
Bugis, banyak terjadi perubahan–perubahan terutama
pada tingkat ade‘ (adat) dan spiritualitas. Upacara–
upacara penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon
yang dikeramatkan hampir sebagian besar tidak lagi
melaksanakannya karena bertentangan dengan
pengamalan hukum Islam. Pengaruh Islam ini sangat
kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-
temurun orang–orang bugis hingga saat ini semua
menganut agama Islam.
Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat
Bugis menganut pada paham mazhab Syafi‘i, serta adat
istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
syariat Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang
banyak dipengaruhi oleh budaya Islam tampak pada
acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru lahir
(aqiqah), pembacaan surat yasin dan tahlil kepada
orang yang meninggal, serta menunaikan kewajiban
haji bagi mereka yang berkemampuan untuk
melaksanakannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan masuknya Islam
pada masyarakat Bugis kala itu juga melalui jalur
perdagangan dan pertarungan kekuasaan kerajaan-
kerajaan besar kala itu. Setelah kalangan bangsawan
Bugis banyak yang memeluk agama Islam, maka
seiring dengan waktu akhirnya agama Islam bisa
diterima seluruh masyarakat Bugis. Penerapan syariat
Islam ini juga dilakukan oleh raja-raja Bone, di
antaranya napatau‘ matanna‘ tikka‘ Sultan Alimuddin
Idris Matindroe‘ Ri Naga Uléng, La Ma‘daremmeng,
dan Andi Mappanyukki.
Konsep–konsep ajaran Islam ini banyak ditemukan
persamaannya dalam tulisan-tulisan Lontara‘. Konsep
norma dan aturan yang mengatur hubungan sesama
manusia, kasih sayang, dan saling menghargai, serta
saling mengingatkan juga terdapat dalam Lontara‘. Hal
ini juga memiliki kesamaan dalam prinsip hubungan
sesama manusia pada ajaran agama Islam.
Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan
dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal
yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti
mengucapkan tabe‘ (permisi) sambil berbungkuk
setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-
orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé
(dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan
sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai
orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda.
Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis
sesungguhnya yang termuat dalam Lontara‘ yang harus
direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh
masyarakat Bugis.
Manusia Bugis
Sejarah orang–orang Bugis memang sangat panjang, di
dalam teks–teks sejarah seperti karya sastra La Galigo
dan Lontara‘ diceritakan baik awal mula peradaban
orang–orang Bugis, masa kerajaan–kerajaan, budaya
dan spritualitas, adat istiadat, serta silsilah keluarga
bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dan
adat istiadat ini harus selalu dipertahankan sebagai
bentuk warisan dari nenek moyang orang–orang Bugis
yang tentunya sarat nilai-nilai positif.
Namun saat ini ditemukan juga banyak pergeseran
nilai yang terjadi baik dalam memahami maupun
melaksanakan konsep dan prinsip-prinsip ade‘ (adat)
dan budaya masyarakat Bugis yang sesungguhnya.
Budaya siri‘ yang seharusnya dipegang teguh dan
ditegakkan dalam nilai–nilai positif, kini sudah pudar.
Dalam kehidupan manusia Bugis–Makassar, siri‘
merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka.
Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk
dibela dan dipertahankan di muka bumi selain siri‘.
Bagi Manusia Bugis-Makassar, siri‘ adalah jiwa mereka,
harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu,
untuk menegakkan dan membela siri‘ yang dianggap
tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka
manusia Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa
saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi
tegaknya siri‘ dalam kehidupan mereka.(Hamid
Abdullah, Manusia Bugis-Makassar .37).
Di zaman ini, siri‘ tidak lagi diartikan sebagai sesuatu
yang berharga dan harus dipertahankan. Pada
prakteknya siri‘ dijadikan suatu legitimasi dalam
melakukan tindakan–tindakan yang anarkis,
kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Padahal nilai
siri‘ adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siri‘
harus dipertahankan pada koridor ade‘ (adat) dan
ajaran agama Islam dalam mengamalkannya.
Karena itulah merupakan interpretasi manusia Bugis
yang sesungguhnya. Sehingga jika dilihat secara utuh,
sesungguhnya seorang manusia bugis ialah manusia
yang sarat akan prinsip dan nilai–nilai ade‘ (adat) dan
ajaran agama Islam di dalam menjalankan
kehidupannya, serta sifat pang‘ade‘reng (adat istiadat)
melekat pada pribadi mereka.
Mereka yang mampu memegang teguh prinsip–prinsip
tersebut adalah cerminan dari seorang manusia Bugis
yang turun dari dunia atas (to manurung) untuk
memberikan keteladan dalam membawa norma dan
aturan sosial di bumi.

Ritual mappacci di bone

Upacara Adat Mappaci dan Baju Bodo
Sodara gue yang ketemu
jodohnya di umur 35 taun
akhirnya nikah juga.
Namanya Tenri Sa’na, tapi
gue biasa manggil dia Kak
Oceng. Calon suaminya—
yang sekarang udah sah
jadi suami—lebih muda 5
taun. Lumayan jauh juga
ya beda umurnya. Tapi,
sekarang, orang sepertinya
udah lebih open minded..
Ga masalahin lagi kalo
cewe yang lebih tua punya pasangan cowo yang lebih
muda. Yang penting mereka bisa nerima kekurangan
masing-masing, saling menghargai, saling mengisi, insya
Allah..
Malam sebelum akad (Sabtu), calon pengantin wanita
ngikutin upacara adat mappaci. Ini rangkaian perayaan
pernikahan Bugis Makassar. Mappaci identik dengan
penggunaan simbol-simbol yang penuh makna, yaitu
menjaga keutuhan dan memelihara kasih sayang dalam
rumah tangga. Akar kata “mapacci” berasal dari kata
“pacci”, daun yang dihaluskan untuk menghias kuku.
Tangan Kak Oceng dihias pake daun pacar, mirip
lukisan henna di tangan pengantin wanita India.
Bunyi "mappaci" juga mirip kata “paccing” yang
artinya bersih dan suci. Jadi, mappaci melambangkan
kesucian hati calon pengantin dalam menghadapi hari
esok, meninggalkan masa gadis, en berumah tangga.
Waktu mappaci, Kak Oceng dan keluarganya beserta
para tamu juga berdoa, semoga akad dan resepsi
berjalan lancar. Setelah sah jadi suami istri, bisa
membina rumah tangga yang harmonis. Amin..amin..
amin..
Hari minggu, jam 8 pagi, akad dimulai. Setelah itu,
sarapan bareng makan lontong sayur plus opor ayam.
Hmmm...ini dia yang ditunggu-tunggu. Coz, gue en
sodara-sodara gue yang jadi penerima tamu ga sempet
makan pagi, minum air putih pun engga. Pastinya,
perut udah krucuuk-krucuuuk minta diisi sama
makanan yang enak-enak. Hehehe.. Setelah nafsu
makan terpuaskan, geng penerima tamu bisa duduk
tenang di kursinya, ga blingsatan lagi.
Hari itu, gue juga berkesempatan pake BAJU BODO
(bukan "baju bego" yah). Warnanya ngejreng-ngejreng,
ada ijo (yang gue pake), kuning, ungu, en merah. Baju
bodonya didesain sendiri sama sodara sepupu gue dan
dia juga yang ngerangkai manik-maniknya (paling
lama 2 bulan). Bentuknya udah dimodifikasi, jadi udah
ga lebaaaar banget kaya baju bodo klasik. Pake baju
bodo bermanik-manik ga perlu dilengkapi banyak
perhiasan lagi karna ornamennya udah rame. Cukup
pake cincin atau anting-anting yang simple.



Ritual unik menyambut ramadhan di bone

Dalam menyambut bulan suci
Ramdhan yakni berkumpul dalam satu rumpun
keluarga dengan menyaijikan berbagai macam makanan
tradisional serta sejumlah hasil bumi, inilah hal yang
menarik yang dilakukan oleh warga Kabupaten Bone
Sulawesi Selatan.
Malam pertama Ramadhan telah tiba, selain dianggap
sebagai bulan yang penuh berkah, hal ini juga dijadikan
ajang silaturrahmi antar sanak keluarga sebagai
rangkaian dari ritual menyambut bulan Ramadhan.
Dalam ritual ini, seluruh sanak famili harus berkumpul
bersama sembari menyiapkan berbagai macam
makanan tradisional seperti nasu Sokko, nasi Poppo
serta sejumlah hasil bumi lainnya.
Ritual ini digelar setelah semua anggota keluarga baik
yang dari rantau sudah berkumpul dalam rumah.
Setelah semua jenis makanan disiapkan, prosesi ritual
pun dimulai dengan ditandai pembakaran kemenyan
atau dupa oleh kepala keluarga.
Sementara seluruh keluarga duduk bersilah melingkari
sajian makanan sambil mengikuti doa dan dzikir yang
dipimpin oleh kepala keluarga, sebagai ungkapan rasa
syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Usai lantunan dzikir dan doa, maka dilanjutkan dengan
menyantap makanan yang telah disajikan dan tentunya
semua makanan harus dihabiskan tak boleh ada yang
tersisa.
"Ritual ini merupakan tradisi dari nenek moyang kami
dalam menyambut bulan suci Ramadhan tujuannya tak
ada yang lain sebagai ungkapan rasa syukur kepada
Allah," ujar Ibrahim, salah seorang Kepala Keluarga
yang memimpin ritual ini. Jumat, (Wrh/KCM).


Ritual mappere do bone


- Ribuan warga di Kabupaten
Bone Sulawesi Selatan, Minggu menggelar tradisi
unik yakni ritual berayun setingg puluhan meter
yang dikenal dengan Mappere oleh masyarakat
setempat.
Tradisi Mappere ini rutin dilakukan warga Desa
Padaidi Kecamatan Tellusiattingnge Kabupaten Bone
Sulawesi Selatan usai panen raya.
Dalam ritual yang telah turun temurun dilakukan ini,
ribuan warga dari berbagai pelosok memadati
lapangan terbuka yang telah terpasang dua pohon
randu setinggi 20 meter, pohon randu inilah yang
kemudian digunakan dalam menggelar tradisi
berayun.
Sementara tali yang digunakan hanya tali rotan yang
dibalut dengan kulit kerbau.
Sebelum Mappare dimulai terlebih dahulu pemuka
adat menggelar ritual untuk meminta keselamatan
bagi para gadis yang akan diayun. Gadis yang harus
menaiki ayunan ini merupakan para kembang desa,
yang telah dipilih sebelumnya.
Sementara delapan oang pemuda membantu para
gadis berayun dengan menggunakan tali dari kiri ke
kanan untuk meninggikan ayunan.
Para penonton terpukau dengan keberanian para
gadis melayang-layang diatas ketinggian 20 meter
tanpa menggunakan pengaman melainkan hanya
menggunakan baju adat atau "baju bodo."
Sejatinya tradisi ini merupakan tradisi secara
temurun usai yang dilakukan oleh warga usai
melakukan panen raya.
"Ini sejak dari nenek moyang kalau sudah panen
padi dan tidak boleh ada warga yang menanam
jagung sebelum tradisi ini dilakukan," ujar H.
Rahman, Kepala Desa Padaidi, Minggu (30/9/2012).
Sementara warga lainnya sibuk di rumah masing-
masing mempersiapkan makanan untuk menu santap
siang bagi seluruh warga yang datang baik dari
dalam maupun dari luar desa tersebut, tak jarang
setiap melakukan tradisi ini warga menyembelih
puluhan ekor kuda sebagai wujud syukur atas
kelimpahan panen.
"Kalau saya tidak salah ada 23 ekor kuda yang
dipotong kemarin," kata Yusdi salah seorang warga
setempat.


Musrembang tk kecamatan

Musrembang pisew mare


PNPM PISEW DESA LAPASA

Pnpm pisew desa lapasa dah memasuki tahun ke 4 dan alhamdulilah sudah membangun jaringan infrastruktur yang cukup mejadai di desa....


Senin, 23 Januari 2012

Diberdayakan oleh Blogger.